Selasa, 25 Januari 2011

ARSITEKTUR JAWA


ARSITEKTUR JAWA; AYU, AYOM DAN AYEM


PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia terdiri atas ratusan suku dan sub-suku. Masing-masing suku memiliki kebudayaan baik yang mempunyai kawasan pendukung yang luas maupun sempit. Semua itu dapat dilihat sebagai suatu warisan budaya yang kaya dan beraneka ragam yang kini menjadi milik keluarga besar bangsa Indonesia.

Tiap suku/etnik memiliki kebudayaan tersendiri, termasuk didalamnya adalah arsitektur tradisional yang khas. Bahkan tiap suku ada yang memiliki lebih dari satu pola arsitektur tradisional. Sebagai contoh etnik batak memiliki beberapa pola arsitektur tradisional, seperti arsitektur Batak-Karo, arsitektur Batak-Toba, arsitektur Batak-Simalungun dan sebagainya. Etnik Jawa juga memiliki arsitektur tradisional yang beraneka ragam, antara lain: arsitektur Jawa di Jawa Tengah, arsitektur Jawa di Jawa Timur, arsitektur Jawa-Tengger, arsitektur Jawa-Banyuwangi, dan sebagainya. Dari warisan dan kekayaan arsitektur yang beraneka ragam itu masih sangat sedikit yang diteliti dan ditulis oleh bangsa sendiri maupun orang asing yang sering lebih berminat dan berkesempatan menekuninya.

Dengan demikian rakyat Indonesia sering lupa atau bahkan kurang paham tentang warisan budaya nusantara yang berupa arsitektur tradisional itu, sebab perlu dimaklumi bahwa masih sedikit pula usaha untuk memperkenalkannya. Akibatnya tak heranlah kalu di bumi nusantara ini muncul arsitektur impor seperti rumah mewah bergaya Spanyol, rumah berbentuk kastil/benteng, rumah bergaya kolonial, mediterania dan sebagainya. Mungkin yang dikejar adalah citra modern atau memiliki bentuk lain dari yang lain, namun apa daya karena barang impor maka yang mungkin di tempat asalnya merupakan produk yang cocok dengan alamnya, manusianya dan budayanya, maka disini mungkin bahkan merupakan hasil yang kebalikannya. Yang didapat bukanlah modernisasi tetapi westernisasi.

Di Pulau Jawa yang subur dan kian padat penduduknya ini mendapat warisan arsitektur Jawa yang sangat kaya, adi luhung dan ternina bobokkan. Arsitektur Jawa tidak lagi memiliki buku anutan atau pedoman  yang dapat dibanggakan seperti masyarakat Bali yang masih mamiliki Asta Bumi dan Asta Kosala-Kosali. Kepustakaan yang ada amat terbatas jenisnya dan kalaupun ada tidaklah mudah untuk mendapastkannya. Karena itu tidaklah mustahil kalau saat ini Arsitektur Jawa kurang banyak dikenal, dan bahkan mungkin lebih dianggap barang kuno yang tidak berguna ketimbang dianggap sebagai warisan budaya yang perlu digali potensinya untuk kemudian diangkat sebagai salah satu arsitektur Indonesia yang berjati diri. Namun terlepas dari itu semua, ternyata Arsitektur Jawa memiliki citra yang mempesona yaitu: AYU, AYOM DAN AYEM.

PENGERTIAN ARSITEKTUR JAWA

Definisi tentang arsitektur cukup banyak jumlahnya. Namun dalam uraian ini dipilih satu pengertian yang diharapkan untuk mempermudah pemahaman. Arsitektur dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang upaya manusia dalam menciptakan wadah/ruang untuk dan dalam rangka kehidupannya. Jadi menurut pengertian ini, arsitektur dapat dimaksudkan sebagai proses maupun sebagai produk/hasil penciptaan. Bahkan dalam arsitektur tradisional antara proses dan produk bukanlah suatu yang berhenti/terputus, tetapi dapat berkelanjutan dari produk kemudian berlanjut ke suatu proses, demikian seterusnya.

Arsitektur Jawa adalah arsitektur yang lahir, tumbuh dan berkembang, didukung dan digunakan oleh masyarakat Jawa. Arsitektur Jawa itu lahir dan hidup karena ada masyarakat Jawa, meskipun dikenal oleh beberapa orang, nama-nama arsitek Jawa seperti Adipati Ario Santan, Wiswakharman, dan lainnya. Bahkan banyak bangunan-bangunan Jawa yang adi luhung tidak ada yang mengetahui siapa arsiteknya. Dengan demikian Arsitektur Jawa lebih dikenal sebagai arsitektur tanpa arsitek.

ARSITEKTUR JAWA ITU AYU

Ayu dapat diartikan/dimaksudkan:
1)      Estetis atau memiliki dan memakai kaidah atau norma seni yang baik;
2)      Simbolis atau menggunakan bentuk-bentuk sebagai perlambang. Perlambang untuk nilai, waktu, tokoh dan sebagainya.
3)      Kaya, maksudnya sesuatu yang ayu atau indah pada umumnya memerlukan dan dikelilingi oleh kekayaan baik dalam mutu maupun jumlahnya.
4)      Menampilkan identitas atau jati dirinya. Jadi arsitektur Jawa memiliki identitas atau menampilkan citra yang memang sesuai dengan tingkatan yang selayaknya atau representatif.

Lalu, bagaimana penampilan citra yang ayu itu pada arsitektur Jawa?

Arsitektur Jawa itu estetis

Estetis merupakan sesuatu yang menyangkut pada masalah keindahan. Jadi arsitektur Jawa itu juga mengenal dan memakai kaidah estetika seperti keseimbangan (balancing), pengulangan (rhythm), penekanan (emphasize), proporsi, skala, dan sebagainya.

Dapat dikatakan bahwa pada umumnya bangunan atau rumah Jawa selalu berbentuk simetris atau setangkup, dan kalaupun tidak simetris tapi tetap memakai kaidah keseimbangan. Kita dapat melihat bentuk dasar bangunan Jawa yaitu Tajug, Joglo, Limasan, dan Kampung, yang selalu memperlihatkan citra setangkup atau seimbang.

Bentuk Tajug dan Joglo seolah-olah memiliki titik sentrum atau titik pusat dan memiliki arah memusat ke atas atau vertikal. Dengan demikian kedua bentuk bangunan ini biasanya digunakan untuk mewadahi aktifitas-aktifitas yang bersifat suci dan sakral atau yang memerlukan kewibawaan atau bersifat monumental.

Sedangkan untuk bangunan yang berbentuk Limasan dan Kampung tidak memiliki titik sentrum dan bahkan lebih menonjol memiliki arah menyamping atau horizontal. Kedua bentuk bangunan ini umumnya justru digunakan untuk mewadahi kegiatan-kegiatan yang bersifat lebih profan.

Kalau kita berdiri menghadap ke arah selatan di tengah pintu gerbang Pangurakan sebelah utara Alun-alun Keraton Jogjakarta dan Surakarta, maka kita akan menyaksikan penataan ruang luar atau landscape yang setangkup dan seimbang. Pohon beringin kurung kembar, bangsal pagelaran yang simetris dan seimbang. Di Siti Inggil, Regol Brajanala, daerah Kemandungan, Regol Sri Menganti, dan bahkan kompleks keraton itu sendiri umumnya menggunakan bentuk-bentuk yang simetris.

Arsitektur Jawa itu memakai kaidah pengulangan atau menggunakan irama (rhythm). Untuk mencapai atau mempermudah kesatuan (unity) diperlukan perulangan atau kesamaan. Masyarakat Jawa ternyata mahfum tentang hal itu. Pada pola ruang luar, bisa dilihat contohnya seperti Alun-alun Keraton Jogjakarta dan Surakarta yang ditanami pohon-pohon beringin dengan jarak yang selalu berulang dan masing-masing pohon dipangkas dengan bentuk yang sama. Pohon-pohon itu ditanam mengelilingi alun-alun utara sehingga menimbulkan suasana yang lebih formal atau resmi dan berwibawa. Pada alun-alun utara juga dapat ditemukan bentuk-bentuk bangunan yang berulang, yaitu bentuk bangunan Joglo. Pada sekeliling alun-alun terdapat banyak bangunan Joglo yang mempunyai bentuk dan dimensi yang relatif sama. Bangunan yang dikenal sebagai Pekapalan ini dimaksudkan untuk tempat beristirahat para bupati dan untuk menambatkan dan memelihara kuda-kuda tunggangan para bupati itu.

Demikian juga kalau kita sedang berjalan-jalan di daerah Kotagede dimana kita bisa menjumpai perumahan rakyat dengan bentuk dasar yang sama yaitu: Pendopo/Joglo, Pringgitan, Dalem dan Pawon, dan yang dibangun dalam persil yang ukuran dan  bentuknya relatif sama. Atau kita bisa menengok ke daerah perkampungan di luar keraton dengan mudah akan menemukan bentuk bangunan Kampung yang banyak digunakan oleh masyarakat umumnya.

Elemen bangunan Jawa juga mengenal dan menggunakan irama. Penutup atap yang menggunakan genteng yang memiliki bentuk, dimensi dan bahan yang selalu sama. Pintu dan jendela pun umumnya memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Bahkan untuk dindingnya juga dibuat dari gedheg (anyaman bambu) yang mempunyai motif ragam hias yang berulang. Saka Guru, Saka Pengarak, Saka Penanggap masing-masing memiliki bentuk dan ukuran yang sama dan berulang.

Arsitektur Jawa itu berirama.

Apakah arsitektur Jawa juga mengenal dan memakai kaidah penekanan (emphasize)? Tentu saja. Kita kembali melihat Alun-alun utara Jogjakarta. Di sana ditanam pohon beringin yang mengelilingi alun-alun tersebut. Pohon-pohon itu memiliki irama dalam bentuk, jenis, dan jarak penanamannya. Tapi di tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin besar yang diberi nama Dewandaru dan Jayandaru. Meskipun berirama karena kembar, tetapi kedua pohon tersebut mendapat perlakuan yang istimewa dan sangat berbeda dengan pohon beringin yang ditanam di sekeliling alun-alun utara itu. Kedua pohon beringin kembar itu ditanam di tengah-tengah alun-alun dan dibuatkan pagar tembok keliling yang berbentuk dan berukuran sama. Dengan demikian, keduanya merupakan “gong” atau tekanan (emphasize). Di Alun-alun Selatan juga bisa kita temukan dua pohon beringin kembar diantara pepohonan beringin lainnya.

Lingkungan dalam atau tata ruang rumah Jawa juga mengenal adanya penekanan. Rumah Jawa yang lengkap pada umumnya terdiri atas: Pendopo, Pringgitan, Dalem atau Griya Ageng, Senthong, Gadri, dan Pawon. Nilai kesucian/kesakralan dan privasi berangkat dari arah depan menuju kea rah belakang tetapi tidak berakhir di pawon. Justru mereka ditata sedemikian rupa sehingga nilai sakral yang tertinggi terdapat pada Senthong Tengah karena sumbu simetri yang datang dari arah depan dan belakang umumnya berhenti di ruang senthong tengah itu.  Demikian pula untuk ketinggian lantainya merupakan level yang tertinggi diantara permukaan lantai ruang lainnya.

Keraton Jogjakarta dan Surakarta yang mempunyai penataan ruang luar yang semakin ke belakang (ke arah selatan) semakin sakral dan privasi yang tinggi. Ia tidak berakhir atau berpuncak di Siti Inggil Dwi Abad atau Alun-alun Kidul, tetapi justru di daerah Kedaton yang letaknya nyaris berada di tengah wilayah keraton itu.

Apakah Arsitektur Jawa mengenal dan menggunakan proporsi?
Memang ia tidak mempunyai golden section Leonardo da Vinci di kalangan teknisi dan seniman dimana-mana. Namun masyarakat Jawa memiliki norma sendiri dalam menentukan proporsi. Mereka menggunakan perhitungan Sri, Kitri, Gana, Liyu dan Pokah. Bangunan griya/dalem ageng menggunakan perhitungan Sri, artinya panjang blandar (balok) dan pengeretnya bila dibagi dengan bilangan lima harus bersisa bilangan satu, atau bisa dijabarkan kedalam rumus berikut ini:


  
    n
   ---  = x + N
    5
n = panjang blandar/pengeret

x = bilangan genap

N = angka neptu



Jadi Dalam/Griya Ageng sebaiknya memiliki panjang blandar 21 kaki, 26 kaki atau 31 kaki dan pengeretnya 16 kaki atau 21 kaki. Rumah untuk pendopo harus menggunakan hitungan Kitri, Gandhok menggunakan Gono. Regol dan Bangsal harus menggunakan Liyu, sedangkan Lumbung, Gedhongan, dan sebagainya harus menggunakan Pokah.

Oleh karrena itu, meskipun pendopo dan griya ageng masing-masing menggunakan bentuk joglo, namun proporsinya harus lain, yang satu menggunakan Kitri, sementara yang lainnya harus memakai Sri. Dengan demikian maka tampilan kedua bangunan tersebut akan menunjukkan proporsi yang berbeda.

Arsitektur Jawa juga mengenal dan menggunakan skala.

Seperti Alun-alun Utara, alun-alun kabupaten dan lainnya memiliki ukuran yang begitu luas namun diselesaikan dengan benteng keliling dan barisan pohon beringin dan joglo pekapalan. Jadi mereka mempunyai skala kewibawaan yang tinggi. Tanah di Siti Inggil sengaja dibuat lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanah di pagelaran atau di Kemandungan Lor atau Keben. Ini dibuat agar dapat menimbulkan kesan resmi dan berwibawa. Namun di Siti Inggil hamper semua bangunannya (kecuali Bangsal Witana) memiliki ketinggian lantai yang sangat dekat dengan permukaan tanah sekitarnya. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan ketinggian lantai yang rendah itu maka setiap orang dianggap memiliki penghargaan yang tak jauh berbeda atau diterima oleh raja dengan penuh keakraban. Bandingkan saja dengan Kuil Parthenon atau White House di Washington maka skala Keraton Jawa dapat dikatakan begitu akrab atau manusiawi.

ARSITEKTUR JAWA ITU SIMBOLIS

Banyak bentuk-bentuk yang terdapat pada Arsiterktur Jawa yang dimaksudkan atau yang digunakan sebagai perlambang. Ada yang disimbolkan karena bentuknya yang mirip dengan bentuk yang ada di alam semesta ini. Misalnya kata Griya yang berasal dari kata Giri  Raya (gunung yang besar) karena rumah Jawa memang pada umumnya memiliki atap yang menjulang tinggi mirip dengan bentuk gunung.

Elemen atap yang terdapat di daerah dataran tinggi dinamakan Gajah karena memang berskala besar dan tinggi seperti gajah. Tatanan usuk atau kasau untuk rumah tajug, joglo atau limas an yang dibuat memusat dan tidak sejajar satu dengan lainnya disebut Satriyo Pinayungan, artinya kesatria yang dipayungi. Jadi bangunan ini menampilkan kesan/citra wibawa seperti seorang kesatria sejati.

Candra Sengkala Memet merupakan angka tahun yang dinyakatan dalam bentuk-bentuk tertentu. Candra sengkala memet merupakan perlambang tahun Jawa berdasarkan perhitungan peredaran bulan. Surya Sengkala Memet merupakan perrlambang tahun Masehi yang berdasarkan perhitungan peredaran matahari. Kedua sengkala memet ini diwujudkan dengan bentuk fisik yang memiliki atau dihargai dengan angka atau bilangan tertentu.

Keraton Yogyakarta misalnya, tahun berdirinya ditandai dengan surya sangkala memet di pintu gerbang Kemagangan dan di pintu gerbang Gadung Mlati yang terdapat bentuk dua ekor naga raksasa yang ekornya saling berlilitan satu sama lainnya. Hal itu dapat diterjemahkan dengan Dwi Naga Rasa Tunggal, yang bisa diuraikan menjadi dwi=2, naga=8, rasa=6 dan tunggal=1. dibaca dari belakang menjadi angka tahun 1682 pada kalendar tahun Jawa.

Kedua naga raksasa itu diberi warna kehijauan sebagai lambang dari pengharapan. Di sisi luar pintu gerbang tadi, di atas tebing tembok kanan dan kiri terdapat hiasan dua naga yang sia-siap mempertahankan diri. Ini diartikan Dwi Naga Rasa Wani yang diartikan juga sebagai perlambang tahun 1682 pada kalendar Jawa. Jadi tahunnya bisa sama ttapi bentuk ragam hiaasnya bisa berbeda tergantung dari perancangan, tujuan, dan media yang akan diletakkan sengkalan itu. Pada sengkalan yang kedua tadi, bentuk naga diberi warna kemerahan sebagai simbol keberanian (wani).

Di halaman Kemegangan ini dahulu digunakan untuk menguji calon prajurit keraton untuk berperang. Jadi suasana yang terjadi adalah marah dan berani, sehingga dipilihlah warna merah pada naga tadi. Contoh lainnya ada pada pintu gerbang Bangsal Pagelaran. Di atas pintu gerbang yang menghadap ke alun-alun terdapat ragam hias berupa relief candra sengkala memet yang berbunyi panca gana salira tunggal, yang bila diartikan dan dibalik susunannya menjadi tahun 1865 pada kalender Jawa. Sedangkan di atas pintu berbang yang menghadap kearah selatan (menghadap keraton) terdapat relief surya sengkala memet yang berbunyi catur trisula kembang lata yang dapat diartikan sebagai tahun 1934 pada kalender Masehi. Kedua tahun di atas dimaksudkan sebagai petunjuk waktu yang sama saat dimuliakannya Tratag Rambat yang beratapkan anyaman bamboo atau yang sering disebut gedheg oleh masyarakat Jawa yang menjadi bangunan mewah berupa bangsal pagelaran oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Akhir-akhir ini di Indonesia popular dengan lukisasn kaligrafi yaitu tulisan huruf Arab yang dikomposisikan sedemikian rupa sehingga berbentuk masjid, Semar, orang bersembahyang, alam abstraksi dengan komposisi huruf yang indah dengan tata warna yang beraneka ragam. Ternyata masyarakat Jawa tempo dulu sudah melakukan hal yang serupa bahkan dalam bentuk perlambang  sehingga huruf Arabnya menyatu ke dalam bentuk imajinasi yang baru. Di Keraton dan Masjid Ageng Jogjakarta pada bagian serambinya terdapat hal-hal yang menarik, seperti tulisan Allah, Muhammad, salallahu, dan sebagainya ditulis dalam huruf Arab yang disusun dan digubah oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I menjadi ragam hiasan yang unik yang diletakkan pada Soko atau tiang/kolom bangunan sakral/suci yang perlu memancarkan citra kewibawaan contohnya pada bangunan Masjid Ageng, Bangsal Witono, Bangsal Kencono dan sejenisnya.

Pada soko/kolom itu diselesaikan dengan pola kepala-badan-kaki. Kaki dari soko tersebut adalah berupa umpak dari batu alam dan bagian badan berupa sokonya itu sendiri serta kepala merupakan Mayangkoro. Pada umpaknya diberi tatahan ragam hias mirip bentuk bunga atau tumbuh-tumbuhan yang konon merupakan stilisasi dari huruf Arab: mim-haq dan mim-dzal, yakni dimaksudkan dari kata Muhammad. Bagian badan yang berupa soko dibagi lagi menjadi pola kepala-badan-kaki. Pada bagian kepala dan kakinya terdapat ragam hias berbentuk Tumpal Tlacapan yang melambangkan sinar.

Di bawah Tumpal bagian bawah atau bagian kaki ini terdapat Mirong atau Putri Miring dan di atasnya lagi (jadi di bawah tumpal bagian atas atau kepala terdapat hiasan/ornamen yang disebut Probo. Mirong atau putrid miring ini konon melambangkan seorang putri yang tersipu-sipu jika dilihat dari depan atau samping hanyalah kelihatan separuhnya, yaitu bagian kirinya atau bagian kanannya saja. Barulah kalau dilihat dari sudut diagonal Putri Mirong ini nampak dalam bentuk yang seutuhnya. Konon Putri Mirong ini perlambang atau personifikasi dari kehadiran Nyi Roro Kidul secara samar-samar. Diperoleh keterangan bahwa bentuk ini sebenarnya komposisi huruf Arab yang berbunyi Muhammad Rasulallah Salallahu yang diartikan sebagai Muhammad utusan Allah yang terpuji. Mirong sekaligus dikatakan orang sebagai lambing kewanitaan atau Yoni yang letaknya di bagian bawah. Sedangkan bentuk Probo yang berada di atas Mirong tadi konon dimaksudkan sebagai stilisasi dari bentuk kelamin pria. Sedangkan Probo itu sendiri diartikan sebagai mahkota raja Jawa. Secara kaligrafi konon bentuk Probo ini merupakan stilisasi dari kata Allah. Nah, disinilah salah satu diantara adi luhungnya ragam hias Jawa.

Perlambang yang lain dikaitkan dengan legenda Nyi Roro Kidul yang merupakan seorang dewi cantik jelita yang menguasai Samudera Hindia dan konon merupakan istri dari Sultan Agung di Mataram (Kota Gede) dan anak cucunya yang kemudian secara berturut-turut memegang tampuk pimpinan sebagai raja tanah Jawa. Karena  itu dia merupakan dewi yang cantik yang menjadi istri raja serta menguasai seluruh kekuatan gaib di Samudea Hindia, maka sepantasnyalah ia disegani, dihormati dan ditakuti oleh masyarakat Jawa.

Oleh sebab itu kalau membuat rumah dan menghendaki kesejahteraan dan bukan kemarahan Nyi Roro Kidul maka rumah tersebut harus menghadap ke arah selatan. Kalau tidak, berarti yang empunya rumah itu tak tahu adat atau tak menghormatinya sehingga kalau tidak ingin kena marah harus membuat upacara atau ritual tertentu sebagai sesaji untuk penangkal/tolak bala. Nah kalau di dunia arsitektur modern dikenal sebagai pendekatan semiotik pada arsiterktur, maka masyarakat Jawa sudah mengenalnya dan menggunakannya sejak berabad-abad yang lalu. Bentuknya tidak secara alamiah tetapi sudah diolah lebih lanjut menjadi bentuk stilisasi yang bisa memberikan bentuk imajinasi tertentu yang memiliki arti/makna, tujuan dan nilai yang tinggi.

ARSITEKTUR JAWA ITU KAYA

Nampaknya memang sederhana. Bentuk bangunan atau rumah Jawa itu hanya ada 5 (lima) jenis yang mudah dihafal dan dikenali, yaitu:
1)      Joglo;
2)      Limasan;
3)      Kampung;
4)      Tajug atau Masjidan;
5)      Panggang Pe

Namun dari kelima jenis itu masing-masing memiliki varian yang jumlahnya mencapai belasan atau likuran. Sedemikian sehingga namanya saja cukup sulit untuk diingat, apalagi ciri-cirinya yang juga sulit untuk dikenal.

Bentuk bangunan Joglo terdiri beberapa varian antara lain:

1)      Joglo Jompongan;
2)      Joglo Kepuhan;
3)      Joglo Pengrawit atau Lambang Gantung;
4)      Joglo Ceblokan;
5)      Joglo Wantah atau Lambang Sari;
6)      Joglo Trajumas atau Sinom Apitan;
7)      Joglo Semar Tinandu;
8)      Joglo Tawon Boni.

Dari beberapa varian tersebut di atas masih dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-varian. Sebagai contoh Joglo Kepuhan ada empat sub-varian antara lain:

1)      Kepuhan Lawakan;
2)      Kepuhan Limolasan;
3)      Kepuhan Apitan; dan
4)      Kepuhan Jubungan.

Sedangkan Joglo Pengrawit atau Lambang Gantung terdiri atas dua sub-varian yaitu:

1)      Pengrawit Ageng; dan
2)      Pengrawit Mangkurat.

Bentuk bangunan Limasan juga memiliki banyak varian. Beberapa diantaranya yaitu:

1)      Limasan Srontongan;
2)      Limasan Semar Tinandu;
3)      Limasan Pacul Gowang;
4)      Limasan Gajag Mungkur;
5)      Limasan Gajah Ngombe;
6)      Limasan Trajumas;
7)      Limasan Klabang Nyander;
8)      Limasan Sinom;
9)      Limasan Bapangan;
10)  Limasan Apitan;
11)  Limasan Ceblokan;
12)  Limasan Lawakan;
13)  Limasan Gajah Nyerang;
14)  Limasan Cere Gencet;
15)  Limasan Gotong Mayit;
16)  Limasan Semar Pinodong;
17)  Limasan Lambang Sari;
18)  Limasan Trajumas Lambang Gantung;
19)  Limasan Lambang Teplok;
20)  Limasan Empyak Setangkep;
21)  Limasan Trajumas Lambang Teplok;
22)  Limasan Sinom Lambang Gantung Rangka Kutuk Ngambang;
23)  Limasan Sinom Lambang Gantung Rangka Kutuk Manglung; dan lainnya.

Dari varian tersebut diatas masih bisa dibagi lagi menjadi beberapa sub varian. Sebagai contoh disini diambil rincian dari Limasan  Semar Tinandu yang terdiri atas tujuh sub varian, yaitu:

1)      Limasan Semar Tinandu Tumpeng;
2)      Limasan Semar Tinandu Prapatan Tunggal;
3)      Limasan Semar Tinandu Gembengan;
4)      Limasan Semar Tinandu Kedas;
5)      Limasan Semar Tinandu Pedasan;
6)      Limasan Semar Tinandu Hargo; dan
7)      Limasan Semar Tinandu Puspo.

Bentuk bangunan Kampung ada sembilan varian, yaitu:

1)      Kampung Sinom;
2)      Kampung Srontongan;
3)      Kampung Dara Gepak;
4)      Kampung Jompongan;
5)      Kampung Gajah Ngombe;
6)      Kampung Pacul Gowang;
7)      Kampung Semar Tinandu;
8)      Kampung Trajumas;
9)      Kampung Gedang Selirang.

Belum diketahui secara pasti apakah dari kesembilan varian ini masing-masing juga dibagi menjadi beberapa sub-varian lagi.

Bentuk bangunan Tajug memiliki beberapa varian, antara lain:

1)      Tajug Ceblokan;
2)      Tajug Semar Tinandu;
3)      Tajug Mangkurat;
4)      Tajug Lambang Gantung;
5)      Tajug Lambang Sari;
6)      Tajug Lambang Teplok;
7)      Tajug Sinom – Semar Tinandu;
8)      Tajug Tawon Boni; dan sebagainya.

Beberapa varian bangunan Masjidan antara lain:

1)      Masjidan Lambang Ceblokan;
2)      Masjidan Lawakan;
3)      Masjidan Payung Agung; dan sebagainya.

Bentuk Tajug dan Masjidan selalu memiliki denah bujur sangkar dan atapnya mengarah memusat keatas.

Bentuk bangunan atau rumah Panggang Pe adalah bentuk rumah yang paling sederhana yang terdiri atas beberapa varian antara lain:

1)      Panggang Pe Trajumas;
2)      Panggang Pe Pokok;
3)      Panggang Pe Gedang Selirang;
4)      Panggang Pe Gedang Setangkep; dan
5)      Panggang Pe bentuk kios atau warung.

Dari beberapa uraian di atas maka kita dapat mengetahui betapa kayanya bentuk bangunan Jawa itu, kaya dalam bentuk dan ragamnya.

Kekayaan bangunan Jawa juga terletak pada ragam hiasnya. Ragan hias Jawa umumnya dinyatakan pada ukir-ukiran pada kayu yang berfungsi rangka atau struktur bangunan atau sebagai penghias atau pengisi serta dalam bentuk perabot rumah tangga.
Pada etnis Jawa yang terbentang dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur itu terdapat beberapa tipe atau jenis ragam hias, antara lain:

1)      Ragam hias Majapahit;
2)      Ragam hias Mataram;
3)      Ragam hias Surakarta;
4)      Ragam hias Jogjakarta
5)      Ragam hias Jepara;
6)      Ragam hias Cirebon (transisi);
7)      Ragam hias Madura (transisi); dan sebagainya.

Masing-masing tipe/jenis ini memiliki ciri-ciri yang berbeda satu dengan yang lainnya, namun masih terlihat adanya persamaan dalam polanya.

ARSITEKTUR JAWA ITU MEMILIKI JATI DIRI

Jati diri disini dimaksudkan untuk dapat menunjukkan kenyataannya sendiri, menunjukkan siapa dia atau menunjukkan identitas dirinya.

Bentuk tertentu dari bangunan Jawa dapat menunjukkan siapa pendiri dan/atau pemiliknya terutama dalam hal status sosialnya.

Rumah atau bangunan Joglo Lambang Gantung, rumah Limasan Sinom Trajumas dan Tajug Lambang Gantung misalnya menunjukkan bahwa pendiri dan pemiliknya adalah seorang raja yang berdaulat.

Rumah Limasan dan Kampung pada umumnya dimiliki oleh rakyat biasa. Hal ini dapat juga dimaklumi bahwa bentuk bangunan ini tidak kompleks lagi sehingga biaya pembangunannya tidak lagi semahal bangunan Joglo atau Tajug. Kalau rakyat biasa itu kebetulan cukup kaya maka umumnya mereka hanya sampai sanggup membangun rumah atau bangunan Joglo Wantah atau Joglo Lambang Sari.

Rumah Panggang Pe merupakan bentuk bangunan/rumah Jawa yang paling sederhana yang sering digunakan keperluan sementara seperti gubug di tengah awah, gardu ronda, warung atau kios dan sejenisnya. Kalau suatu keluarga hanya sanggup membangun rumah tinggal berbentuk Panggang Pe, maka ini berarti hanya dalam kondisi darurat saja atau memang keluarga ini kondisinya miskin atau jelata.

Di pihak lain, bangunan atau rumah itu dapat menunjukkan sifat atau karakter dari bangunan itu. Bangunan yang beratap memusat keatas dan bersusun (memiliki atap tumpang) itu memiliki sifat suci/sakral sehingga sering digunakan sebagai empat ibadah, cungkup atau bangunan suci lainnya. Bangunan Tajug, Masjidan dan Meru di Bali menunjukkan hal itu dengan jelas.

Bangunan Joglo yang mempunyai bentuk atap yang besar dan mewah bagai mahkota pada umumnya menunjukkan suasana kewibawaan, keagungan dan juga keteduhan atau pengayoman/ perlindungan.

Banguna lain yang memiliki bentuk yang lebih menonjol arah sebaliknya digunakan sebagai bangunan untuk keperluan yang bersifat profan (fuingsi kemasyarakatan) atau untuk, fasilitas publik.
Rumah Limasan, Kampung dan Panggang Pe pada umumnya dipakai sebagai rumah tinggal para kawula, untuk los/kios pasar dan sebagainya.

Dalam hal tata ruang luar (landscape) dan vegetasi, rumah masyarakat Jawa memiliki citra yang khusus. Halaman rumah Jawa itu umumnya terdiri atas satu halaman yang luas dimana tanahnya ditaburi/diurug pasir, kemudian di atasnya ditanamu tanaman pelindung yang rindang seperti pohon sawo kecik, sawo manila, nagasari dan sebagainya.

Halaman rumah Jawa juga dihindarkan tumbuh rerumputan, kalau sampai ada tumbuh rumput liar, maka segera dicabut. Jadi memang sengaja tidak ditanami rumput seperti arsitektur taman yang dari Eropa atau Amerika.

Penataan taman pada rumah Jawa itu memberikan suasana kesegaran, keteduhan dan kenyamanan. Jadi ia menunjukkan jati dirinya karena sesuai dengan prinsip rumah yang teduh dan nyaman juga tanggap terhadap alam tropis yang lembab di Pulau Jawa ini.

ARSITEKTUR JAWA YANG AYOM

Ayom dapat diartikan sebagai teduh dan terlindung. Jadi dalam hal ini arsitektur Jawa dimaksudkan sebagai:

1)      Teduh dan rindang: bagaikan pohon beringin yang kokoh berdiri di alam tropis yang lembab ini. Kehadirannya dapat memberikan keteduhan dan kesegaran udara yang sehat namun tidak membuat masukm angin
2)      Terlindung/terhindar dari kekuatan metafisika: yang merugikan Arsitektur Jawa diciptakan untuk keserasian antara alam jagad raya (macro cosmos) dengan alam manusia (micro cosmos). Kekuatan-kekuatan yang jahat diusahakan untuk ditolak/disingkirkan atau dikendalikan sesuai dengan kodrat dan kemampuan manusia. Dengan demikian arsitektur Jawa itu tanggap terhadap kekuatan alam metafisika.

ARSITEKTUR JAWA ITU TEDUH NAN RINDANG

Bagaikan pohon beringin ia dapat melindungi manusia dari panasnya sinar matahari dan melindungi dari derasnya hujan. Bahkan ia tetap tegak berdiri kokoh meskipun berkali-kali diguncang gempa bumi.

Rumah/bangunan Jawa selalu mumpunyai citra arsitektur atap, dimana atap bangunan selalu lebih menonjol dari bagian dinding dan bagian pondasinya. Tetap kokoh berdiri walaupun terkena guncangan gempa bumi yang dahsyat dan bermahkotakan atap yang menjulang tinggi.

Bangunan berbentuk Joglo, Tajug/Masjidan, Limasan Sinom Trajumas jelas memberikan citra yang menonjolkan bentuk atap. Bahkan dari bentuknya yang besar itu kemudian dirinci menjadi beberapa bagian dari yang tinggi di pusatnya lalu dengan atap yang bersusun di sekeliling bawahnya dengan sistem konstruksi Lambang Gantung, Lambang Teplok, ataupun dengan Lambang Sari.

Konstruksi Lambang Gantung dan Lambang Teplok memberikan penyelesaian penerangan dan penghawaan alami yang sangat baik sehingga memberikan memberikan kesegaran udara dan kenyamanan tinggal yang optimal karena pada umumnya kelembaban udara di dalam bangunan mendekati yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Dengan demikian para penghuninya akan merasa nyaman berada di dalam rumah itu meskipun di luar rumah terasa panas dan lembab. Tidak hanya manusia saja, beberapa kawanan burungpun merasa senang berdiam di situ.

Pada umumnya semakin kaya si pemilik rumah maka semakin banyak usaha untuk memperluas bangunan itu. Oleh sebab itu banyak pendapa yang memiliki beberapa emper diantaranya Emper Pengarak, Emper Penanggap, Emper Peningrat dan sebagainya. Pada akhir bagian emper biasanya dibuatkan teritisan yang lebar untuk melindungi saka/kolom dan dinding. Teritisan (overstack) yang lebar biasanya bertumpu pada batang sangga uwang atau Kathung yang berbentuk melengkung estetis.

ARSITEKTUR JAWA ITU TERLINDUNG DARI KEKUATAN METAFISIKA

Kekuatan supranatural yang berrsifat jahat dalam proses pembangunan rumah selalu diperhitungkan dan diatur tata kramanya serta dibuatkan upacara atau ritual khusus baik dengan benda-benda tolak bala, sesaji maupun dengan mantra-mantra atau doa-doa. Semua itu dilakukan dengan tujuan agar rumah yang akan atau sedang dibangun itu nantinya akan menjadi rumah yang memberikan kesejahteraan lahir dan batin, aman tentram, terhindar dari kekuatan-kekuatan gaib yang merugikan.

Sejak dari pemilihan kayu di hutan atau kebun dan memotongnya, memilih lahan untuk persil rumah itu, memilih hari dan tanggal yang baik untuk membedah bumi dan mendirikan saka guru dan kerangka bangunan, dan sampai dengan pemilihan waktu yang baik untuk mulai menghuninya, semuanya diawali dengan survei, identifikasi masalah, evaluasi dan pemilihan alterrnatif dilakukan dengan cermat dan beningnya hati yang selalu dikaitkan agar diperoleh kesejahteraan dan ketentraman bagi para penghuninya.

Dalam kitab primbon Jawa Betal Jemur Adam Makna yang disusun oleh Ki Soemodidojo Mahadewa diuraikan dengan panjang lebar tentang:

a)      Pemilihan desa atau kampung yang akan ditempati;
b)      Pemilihan pekarangan dan persil rumah;
c)      Tolak bala untuk rumah dan pekarangannya;
d)     Mengusir kekuatan gaib (metafisika) yang merugikan;
e)      Menentukan arah menghadapnya rumah;
f)       Awal mendirikan rumah, membuat/membangun rumah dan memindahkan rumah;
g)      Membuat sumur dan jamban; dan sebagainya.

Dalam kitab tersebut diuraikan mengenai tata nilai yang ada, tata laku ang benar dan bermanfaat, nama-nama dan waktu-waktu yang baik, uba-rampe atau perangkat untuk upacara atau ritual dan sebagainya.

Kekuatan gaib yang dianggap akan mendukung datangnya kesejahteraan juga mendapat perhatian dan penghormatan yang setimpal. Dewa Sedana dan Dewi Sri yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat petani itu mendapat tempat yang sangat terhormat dan disakralkan. Senthong Tengah lengkap dengan Krobogan dan Loro Blonyo merupakan tempat persemayaman kedua dewa itu. Padi Temantenan hasil upacara Wiwitan di sawah yang akan segera dituai, diboyong ke rumah dan ditempatkan di Senthong Tengah ini.

Tata nilai, tata laku dan sikap terhadap kekuatan gaib pada arsitektur Jawa tentu saja juga mengalami perubahan dan kelonggaran. Ada beberapa tata nilai dan tata laku yang kini sulit atau tak mungkin dilakukan.
Sebagai contoh sekarang ini sangat sulit untuk dapat melakukan pemilihan kayu jati di hutan atau di kebun milik sendiri. Bahkan untuk membangun kembali Keraton Surakarta yang terbakar itupun mungkin mengalami kesulitan dalam pemilihan kayu jatinya. Cara menebang kayu itu harus dengan cara yang baik menurut kitab Serat Kawruh Kalang sudah amat sulit untuk dikerjakan, kecuali pihak keraton mendapatkan otoritas dari pemerintah untuk dapat memenuhi kebutuhannya di hutan atau dengan cara lain yang masih memungkinkan.

Dengan falsafah hidup Pancasila, maka keagamaan dan kepercayaan yang menjurus ke polities (serba Tuhan) mulai ditinggalkan. Bahka kini sudah banyak proyek raksasa dibangun dengan upacara peletakan batu pertama tanpa sesaji menanam kepala kerbau karena hal itu dianggap sikap dan tata laku kea rah syirik.

Dengan demikian maka peran kepercayaan yang mendekati atau berusaha mengendalikan kekuatan gaib itu makin longgardan kemudian dirubah dengan syariat agama yang mengesakan Tuhan.

Sikap ngayomi juga ditunjukkan Arsitektur Jawa pada pola tatanan ruang luar (landscape) pada bangunan rumah tinggal dan penampilan bangunannya. Tata taman halaman rumah tinggal Jawa mempunyai konsep meneduhi (ngayomi). Disana tidak ditanami rumput dan tanaman perdu pada sekeliling halaman. Tetapi justru ditanami pohon pelindung yang rindang dan di bawahnya diurug atau dilapisi dengan pasir bukan dengan rerumputan. Pada pagi hari halaman itu disiram air sehingga pada siang hari saat matahari memancarkan sinarnya maka terjadilah proses penguapan alami dari pasir yang basah itu. Karena proses penguapan butuh energi  maka diseraplah suhu yang ada di pasir dan dari udara di sekitarnya. Dengan demikian suhu di halaman tersebut menjadi turun. Kadar air di dara itu juga turut berubah juga sehingga suhu dan kelembaban di halaman itu menjadi suasana yang teduh dan segar. Jadi kaau sekarang ini kita mengenal mesin air conditioner maka di halaman rumah masyarakat Jawa sudah mengenal lebih dulu pengkondisian udara secara alami yang lebih sehat dan segar.

Penampilan bangunan Jawa pada rumah tinggal juga menampakkan sikap mengayomo kepada para tamunya dan orang lain yang sekedar lewat di depan pekarangan rumah. Mengayomi kepada tamu dicerminkan dengan penampilan serambi yang sangat luas yang dinamaka Pendapa, yang biasanya berupa bangunan Joglo atau Limasan yang relatif terbuka (tanpa adanya sekat dinding). bukan hanya itu saja, di bagian depan Pendapa terdapat Pringgitan Depan dan bangunan Kuncung sebagai tempat berhentinya kereta kuda atau andhong yang teduh. Penghargaan terhadap status tamunya juga dicerminkan dengan penampilan ruang untuk menerima tamunya. Tamu yang memiliki status orang biasa diterima di Pringgitan depan. Tamu yang berstatus terhormat atau kaum priyayi dan bersifat resmi diterima di Pendopo. Sedangkan tamu kerabat dan sanak keluarga bisa diterima di Pringgitan Belakang. Jadi nampak kelihatan betapa masyarakat Jawa itu menghargai tamunya.

Mengayomi kepada orang yang sedang lewat di depan pekarangan rumah ditunjukkan dengan penampilan bangunan regol di pintu gerbang utama pekarangan yang menghadap ke jalan umum. Bangunan yang bersifat terbuka dan mengundang ini boleh digunakan oleh siapapun. Di situ pada umumnya disediakan tempat duduk yang juga berfungsi untuk tidur-tiduran yang berupa dipan dilengkapi dengan kendi yang berisi air minum yang memang disediakan oleh pemilik rumah untuk siaa saja yang hendak beristirahat. Jadi bagi orang lain yang sedng alam perjalanan mengalami kelelahan, kepanasan, atau kehujanan, maka regol merupakan bangunan yang sangat bermanfaat bagi mereka.

Pada bangunan regol ini juga diletakkan Kenthongan sebagai alat komunikasi dan tanda serta peralatan lain berupa pasir dan ganthol untuk perangkat pemadam kebakaran.
Pintu regol biasanya terletak di bagian dalam bangunan itu sehingga bangunan itu lebih bersifat terbuka keluar terkesan welcome, ramah dan ngayomi bagi musafir yang memerlukan perlindungan.

Dari contoh-contoh diatas dapat kita simpulkan bahwa Arsitektur Jawa pada prinsipnya bersifat ngayomi, baik di depan pekarangan/halamannya maupun pada penampilan bangunannya. Demikian juga bisa mengayomi penghuninya terhadap pengaruh kekuatan gaib yang jahat dan menghormati kekuatan gaib yang akan membawa keberuntungan/kesejahteraan.

ARSITEKTUR JAWA YANG AYEM

Ayem dapat diartikan tentram. Tentram bisa terjadi apabila beberapa faktor bisa terpenuhi, diantaranya:

a)      Kesejahteraan; arsitektur Jawa diciptakan dalam rangka memenuhi kesejahteraan pemakainya atau penghuninya baik secara lahir maupun batin, khususnya dalam hal bermasyarakat dan menempatinya.
b)      Keamanan; bangunan Jawa kokoh berdiri cukup megah dengan bermahkotakan atap itu selalu didukung oleh sistem struktur rangka kayu yang fleksibel dan kuat. Struktur ang dipakai itu ternyata cukup kuat menghadapi guncangan gempa bumi.
c)      Keselarasasn; arsitektur Jawa selalu berusaha menyelaraskan diri dengan alam fisik di sekitarnya dan menyelaraskan diri dengan masyarakatnya. Jadi selalu diupayakan dengan meniadakan timbulnya pertentangan.

Nah, bagaimana penampilan citra ayem itu pada arsitektur Jawa. Berikut ini pembahasannya.

ARSITEKTUR JAWA ITU MENUJU KESEJAHTERAAN

Artinya bahwa Arsitektur Jawa sebagai wadah yang mendukung terciptanya kesejahteraan bagi para penghuni atau pemakainya, baik secara lahir maupun batin. Dalam kitab Betar Jemur disebutkan:

Bismilllahi rahmanirrohim,
Nyawa sejati, sukma sejati, ya ingsun sejatining sukma, ambyah kummel (nuli idu kaping telu, sarwi megeng napas, banjur ndonga maneh).
Badanku badan rohani, pinernahake ing segara, asat kang banyu, ing gunung gugur, ing kayu angker rubuh, ing wong jail dadi sabar selamet les tanpa daya.

Itulah doa orang Jawa untuk penawar lemah sangar dan kayu aeng (tanah angker dan kayu bertuah). Hal itu dimaksudkan agar tanah dan bahan bangunan dan kayu yang akan digunakan untuk pembangunan itu nantinya tidak akan memberikan gangguan metafisika kepada penghuninya dan justru diharapkan akan memberikan dukungan kearah kesejahteraan kepadanya.

Untuk mendirikan rumah perlu memperhitungkan hari baiknya. Kalau tidak diperhitungkan dengan cermat mungkin akan menimbulkan hal-hal yang menjauhkan dari kesejahteraan dan mendekati pada kesengsaraan. Menurut Betal Jemur Adam Makna disebutkan:

Petung ngedegake utawa ndandani omah:
Miturut wiwite dina lan pasarane, neptune digunggung banjur kapetung: sri, kirtri, werdi, candhi, rogoh, sempoyong.
Yen tiba sri = sugih dayoh, kitri = karejeken, werdi = sugih anak, candhi = kejen keringan, rogoh = asring kemalingan, sempoyong = asring kepaten.

Jadi kesimpulannya, kalau hitungannya jatuh pada sari, kitri, werdi atau candhi maka merupakam hari yang baik dan akan membawa kemakmuran. Sebaliknya kalau hitungannya jatuh pada rogoh dan sempoyong, maka itu merupakan hari yang buruk sehingga nantinya akan membawa kesengsaraan.

Disamping primbon Betal Jemur Adam Makna maka Serat Centhini yang nama aslinya Serat Tambang Raras itu juga banyak memuat tentang berbagai ukuran yang digunakan dalam proses pembangunan rumah.

Pada Serat Centhini terjemahan Ki Tarjan Hadijaja dan Ki Kamajaya diuraikan bagaimana mencari ukuran yang baik agar mendatangkan kemakmuran bagi pemiliknya dalam hal:

1)      Ukuran untuk mendirikan rumah dan bangunan lainnya;
2)      Ukuran tiang atau kolom;
3)      Jumlah kasau atau usuk;
4)      Ukuran tinggi pagar;
5)      Luas tanah untuk pekarangan/halaman;
6)      Jarak antara rumah dengan pendapa;
7)      Jarak antara rumah dengan kandang; dan
8)      Ukuran mendirikan kandang.

Demikian cukup banyak lambing, tata nilai dan tata laku, serta ukuran yang telah ditetapkan oleh masyarakat Jawa dalam rangka membangun rumah, sehingga kalau dapat dipilih dan ditentukan alternatif yang baik maka diharapkan bangunan dan pekarangannya itu akan dapat mendatangkan kemakmuran bagi para penghuninya baik lahiriah maupun batiniah. Serat Centhini yang lebih dikenal sebagai ensiklopedia Jawa. Hanya para sesepuh desa yang sering disebut sebagai dukun atau “orang tua” yang biasa memiliki dan memahami hal-hal yang terkandung dan termaksud dalam kitab Jawa kuno itu.

Bagi setiap keluarga yang akan membangun rumah maka biasanya mereka akan memdatangi dukun tersebut untuk memohobn pertolongannya agar bersedia membantunya sedemikian rupa sehingga rumah itu akan dapat memberikan keberuntungan dan kemakmuran dan kondisi tertentu seperti penghuninya dapat menjadi lebih berwibawa (bagi seorang pamong), memperoleh rejeki dalam berusaha (bagi seorang pedagang) dan sebagainya.

ARSITEKTUR JAWA ITU MEMBERIKAN SUASANA AMAN

Maksud aman disini adalah terhindar dari kekuatan jahat atau buruk yang tidak dikehendaki baik yang datang dari alam nyata seperti hujan, panas, gempa bumi, dan binatang, maupun dari alam gaib atau metafisik dan dari kejahatan manusia lainnya.

Pada saat daerah Jogjakarta dan sekitarnya diguncang gempa bumi  yanfg dahsyat (konon saat meletusnya Gunung Kelud), kompleks Keraton Jogjakarta yang dirancang dan dibangun oleh orang Jawa ternyata masih tetap berdiri kokoh dengan kerusakan yang tidak begitu parah. Sedangkan kompleks Taman Sari yang berada di sebelah barat keraton itu, yang dirancang oleh orang Portugis dengan sistem dinding pemikul (bearing wall) ternyata sebagian besar mengalami keruntuhan yang cukup fatal. Inilah salah satu bukti yang nyata, bahkan sampai sekarang ini masih dapat dilihat peninggalannya. Terbukti bahwa bangunan Jawa bisa menyesuaikan diri dengan kondisi alamnya yang sering diguncang gempa bumi. Dengan demikian bangunan Jawa itu dapat memberikan rasa aman. Disamping itu kekuatan efek negatif dari hujan dan panas matahari diselesaikan dengan membuat arsitektur atap lengkap dengan emper, teritis, kuncung, dan regol. Karena masyarakat Jawa pada umumnya merupakan masyarakat agraris yang hamper sepanjang hari bekerja di tempat terbuka, maka kemudian rumah Jawa justru dibuat agar penghuninya betul-betul terhindar dari pengarih buruk cuaca seperti panas dan hujan. Bahkan sering kita jumpai Griya Ageng memiliki tembok massif dengan jendela dan penerangan yang sangat minim sehingga suasana di dalam rumah terasa gelap dan pengap.

Dalam kitab Betal Jemur terdapat satu penjelasan tentang tata laku di dalam membangun rumah agar rumah itu nantinya tidak dimasuki atau ditakuti nyamuk. Berikut ini penjelasannya:

MURIH OMAH ORA KELEBON LEMUT
Wiwit ngedegake saka guru nganti sarampunge, kang pada nyambut gawe ora kena ura-ura, omong kang tanpa padah, geguyon, kenane mung omong rerembugan bab penggawean sarta ora kena udud, nginang, njajan, mangan ana sajroning omah kang lagi digarap. Dene yen arep mangan, ngombe, ngudud, lan sapanunggalane, kudu sumingkir saka panggonan omah kang lagi digarap. Insya Allah lemut ora wani mlebu.

Kalau hal itu dikerjakan dan memang terbukti, maka betapa banyak uang yang bisa dihemat sebab obat anti nyamuk yang disemprotkan, dibakar dan lainnya tidak diperlukan lagi, dan bisa merusak lingkungan hidup dan ekosistem yang ada (bisa menyebabkan keracunan dan pencemaran).

ARSITEKTUR JAWA ITU MENGANUT PAHAM KESELARASAN DAN KESERASIAN

Arsitektur Jawa itu menganut azas keselarasan dan keserasian maksudnya selaras dengan alam lingkungannya dan masyarakat sekitarnya.

Tata ruang luar pada bangunan Jawa seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya selalu menyelaraskan dengan alam sekitarnya. Lingkungan masyarakat Jawa yang bermata pencaharian bidang agraris itu selalu melihat rumput itu sebagai musuh bagi tanaman budi dayanya, sehingga manfaat rumput hanya digunakan untuk bahan pangan bagi hewan-hewan ternak atau bahan penutup atap. Dengan demikian halaman rumah Jawa diuopayaka untuk terhindar dari tumbuhnya rumput ilalang. Tanah pekarangan iasanya dilapisi dengan pasir urug agar tidak mudah becek dan cepat menghisap air sehingga menjadi cukup keras dan kering. Di halaman itu sering ditanami pohon-pohon yang rindang seperti pohon sawo kecik. Jadi selain memberikan keteduhan, pepohonan itu juga memberikan manfaat lain dan nilai tambah seperti buahnya yang bisa dimakan dan/atau dijual, tampilan pekarangan menjadi elok, beraroma harum, dan lainnya.

Alam lingkungan Jawa yang tropis diselesaikan dengan pemberian atap sebagai mahkota dan banyaknya ruang-ruang terbuka seperti Pendapa, Pringgitan, Kuncung dan Regol sehingga menimbulkan kesan serasi dan menyatu dengan lingkungannya.

Penampilan bangunan juga menganut unsur keselarasan dan keserasian. Masyarakat pada umumnya tidak akan berani membuat dan mendiami bangunan yang berbentuk Joglo Pengrawit, Limasan Trajumas, dan Tajug karena takut kuwalat meskipun si pemilik merasa cukup kaya (tapi tak mungkin menyamai kekayaan rajanya) maka ia akan cukup puas dengan membangun rumah ang berbentuk Kampung, Limasan biasa dan palig tinggi Joglo Lambang Sari.

Jadi ada keselarasan antara tampilan bangunan dengan srtatus pemiliknya. Bangunan untuk raja tidak akan didirikan oleh, dan untuk rakyat kebanyakan, begitu juga sebaliknya.
Meskipun  azas gotong royong dalam masyarakat Jawa merupakan satu nilai dan tatanan yang harus dipenuhi, namun dalam penampilan bangunan rumah tinggal (permukiman) ternyata tidak diwujudkan dengan rumpun bangun yang komunal dan tipikal seperti di daerah Madura, Toraja, Batak, Nias dan sebagainya.

Rumpun bangun pemukiman masyarakat Jawa itu justru bersifat mandiri atau soliter, artinya setiap keluarga pada prinsipnya memiliki satu rumpun bangun berupa: rumah, halaman, dan kebun/pekarangan. Jadi satu kepala keluarga selalu memiliki seperangkat rumpun bangun tersebut. Kalau kepala keluarga tersebut memiliki anak yang sudah dewasa dan menikah maka keluarga baru tersebut akan dibuatkan rumpun bangun rumah yang serupa di tempat lain. Jadi di rumpun bangun Jawa amat jarang ditemukan adanya halaman bersama seperti Tanean Lanjang di Madura, terkecuali apabila kemampuan keluarga tersebut sangan terbatas sehingga tidak mampu lagi menjalankan prinsip itu lagi.

Hal itu mungkin merupakan pencerminan dari sifat patrilokal yang sangat kuat yang berlaku di masyarakat Jawa. Dengan adanya unit perumahan yang mandiri ini maka selain setiap keluarga selalu diajari hidup mandiri dan dimaksudkan agar konflik antar keluarga besar dapat dihindarkan. Dengan demikian diharapkan akan menghasilkan keluarga-keluarga yang ayem di dalam suatu komunitas yang ayem tenteram juga.

Suasana yang aden ayem inilah mungkin juga yang membantu atau mendorong terjadinya masyarakat yang cenderung statis. Alam tropias yang subur ini juga ikut meninabobokkan masyarakatnya karena selalu dimanjakan oleh alamnya, meskipun kondisi itu tak bakal berlangsung lama/abadi. Tidak seperti masyarakat yang berada di daerah yang memiliki empat musim, sehingga apabila manusia tidak memiliki bekal hidup yang dikumpulkan pada musim-musim sebelumnya, maka mereka akan mati kedinginan dan kelaparan.

Demikianlah nampak pada kita bahwa Arsitektur Jawa seperti yang diuraikan di atas memberikan suasana yang adem ayem tentrem kerta tur raharja.

PERMASALAHAN ARSITEKTUR JAWA

Suatu fakta yang dapat kita mati pada saat ini adalah bahwa arsitektur Jawa kini sedang “tertidur lelap”, sehingga sudah banyak yang mulai tidak mengenalinya apalagi menyayanginya untuk dilestarikan.

Ada beberapa masalah yang perlu kita sadari dan sewajarnya untuk kita carikan penyelesaian masalahnya. Kalau tidak mulai sekarang, maka dikhawatirkan Arsitektur Jawa akan “tutup usia” atau punah, sedangkan di pihaklain warisan budaya ini merupakan potensi budaya daerah yang mempunyai nilai adi luhung.

Masalah-masalah itu antara lain sebagai berikut:

1)      Arsitektur Jawa sudah mulai kurang dikenal oleh generasi masa kini, ada beberapa sebab yang dapat kita amati antara lain:

a)      Literatur tentang Arsitektur Jawa sudah hamper langka. Orang yang banyak tahu tentang ilmu itu sudah semakin langka dan umumnya sudah berusia lanjut juga segan dan takut untuk menulisnya.
b)      Tidak didukung oleh sistem dan lembaga pendidikan yang memadai. Para siswa di sekolah-sekolah umum dan kejuruan di Jawa hampir bisa dikatakan bahwa mereka tidak tahu apa itu Joglo Pengrawit, Lambang Teplok, Sri-Kitri, pekarangan Indraprasta dan sebagainya. Di Pulau Jawa juga tidak terdapat lembagai khusus yang mempelajari dan mengembangkan Arsitektur Jawa.

2)      Struktur bangunan Jawa itu tahan gempa namun kini ditinggalkan. Betapa tidak, sebab para siswa sekolah kejuruan, paa mahasiswa teknik sipil dan arsitektur di Jawa ini sangat kuang mendapatkan pelajaran tentang sistem struktur dan konstruksi yang dipakai pada bangunan Jawa. Mereka pada umumnya tidak tahu apa itu blandar, pengeret, saka bentung, usuk pinayung dan sebagainya. Ini bisa dimaklumi sebab pada saat mereka diduk di bangku penddidikannya maka mereka justru segera mendapatkan pengajaran tentang struktur dan konstruksi yang berlaku di dunia barat (yang belum tentu cocok dengan kondisi tapak yang ada di Jawa). Inilah bagian kurikulum yang perlu disesuaikan dan disempurnakan.

3)      Meskipun Arsitektur Jawa itu adi luhung, tetapi masih memiliki kelemahan atau kekurangan. Karena Arsitektur Jawa “tidur” dan adanya penjajahan, maka ia tidak sempat berkembang menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Zaman yang semakin maju biasanya diikuti juga dengan semakin banyaknya pengkhususan fungsi dan wadahnya. Arsitektur Jawa tidak atau belum memiliki arsitektur kantor, arsitektur pabrik, arsitektur hotel dan sejenisnya. Karena kegiatan itu kini juga merambah di tanah Jawa maka dengan mudahnya arsitektur barat menjadi tamu di negeri sendiri bahkan kemudian cenderung merupakan tamu yang amat berpengaruh di negeri kita. Saat ini baru mulai muncul bangunan pada proyek-proyek raksasa yang mendapatkan sentuhan Arsitektur Jawa seperti:
a)      Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng;
b)      Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Jawa Timur, Surabaya;
c)      Pendopo di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta; dan sebagainya

4)      Arsitektur Jawa mulai digemari kembai. Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya jati diri bangsa dan kesadaran akan pengertian bahwa kebudayaan daerah yang bermutu akan menjadi kekayaan budaya nasional Indonesia. Maka tampak jelas bahwa saat ini sudah ada kecenderungan untuk kita makin menghargai warisan budaya leluhur kita dan semakin tampak usaha-usaha untuk mengembangkannya. Hal ini tampak jelas pada

a)      Penggalakan pemakaian busana tradisional (misalnya batik dan kebaya);
b)      Penggalakan produksi kerajinan daerah;
c)      Makin digemarinya produk-produk jamu dan kosmetik tradisional;
d)     Dikembangkannya (baik produksi maupun pemasaran) perabot-perabot dan ukir-ukiran tradisional;
e)      Dikembangkannya seni-seni budaya daerah (tari, lagu, dan lainnya)
f)       Serta usaha-usaha lainnya untuk melestarikan kebudayaan asli Indonesia.

Itulah suatu pertanda zaman bahwa bangsa kita makin menyadari pentingnya identitas bangsa dan makin menyadari bahwa kita mempunyai warisan kekayaan budaya tradisional yang tak ternilai harganya.

Selain proyek-proyek yang tersebut diatas, kini juga mulai nampak penggunaan bangunan tradisional Jawa pada beberapa kawasan pemukiam baru (real estate), tentu saja dengan menyesuaiksm dengan tingkat kemajuan masa kini. Namun demikian tanpa adanya bimbingan dan suasana yang mendukung kehadirannya itu maka dikhawatirkan nanti justru akan semakin terdesak dengan arsitektur barat yang pada umumnya justru tidak ada keserasian dan keselarasan dengan situasi dan kondisi alam dan masyarakat kita.

KESIMPULAN

Arsitektur Jawa yang ayu, ayom dan ayem, serta adi luhung ini sekarang tengah “tertidur pulas”. Bangsa Indonesia dewasa ini tengah menyadari betapa pentingnya identitas bangsa/daerahnya. Oleh sebab itu makin disadarinya upaya untuk melestarikannya dengan cara mermpelajarinya, meneliti dan mengembangkan serta mendokumentasikan potensi-potensi yang ada dalam budaya nasional yang memiliki jati diri.

Arsitektur Jawa inipun tidak semakin dipojokkan oleh arsitektur asing yang dianggap lebih modern) karena berdalih gaya internasionalis, yang pada prinsipnya juga diikuti oleh kegiatan perekonomian multinasional. (atau berdalih agar nampak lebih keren seperti bangsa asing). Kita bisa memaklumi sebab kita pernah dijajah oleh bangsa asing sebagai inferior dan pada umumnya akan berkiblat ke bangsa yang dianggap lebih superior itu.

Namun demikian kita harus menyadari bahwa semakin pentingnya untuk menumbuhkan kesenian dan kebudayaan daerah sehingga kita dapat berdiri sebagai bangsa yang berdaulat yang memiliki harga diri dan identitas tersendiri di tengah-tengah pergaulam antar bangsa saat ini yang kian terbuka.

Selain itu semakin terlihat pentingnya “membangun kembali” arsitektur Jawa dan arsitektur daerah lainnya di Nusantara ini tentu saja dengan penyesuaian dan pengembangan yang dianggap perlu.

Sudah sepantasnya kalau kita mendorong dan mengupayakan terbentuknya lembaga pendidikan yang khusus menangani, mempelajari, meneliti dan mengembangkan budaya dan arsitektur Jawa, semacam Javanology.